***
Semasa di perkuliahan, tak pernah terbayang proses mencari pekerjaan itu sangat sulit dan ketat. Mengingat proses perkuliahan yang menyenangkan membuat penulis sendiri pun tidak memikirkan bagaimana setelah lulus kuliah nanti. Ada satu guyonan yang sering dilontarkan penulis dan teman-teman, guyonan tersebut dalam bahasa sunda berbunyi "hayang gawe, tapi nu ngeunah", yang artinya ingin kerja, tapi yang enak. Nyatanya mencari pekerjaan tidak semudah mengucapkannya. Banyak runtutan proses yang harus kita lalui untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. Namun sebelum semua itu, ada semacam gerbang keluar menuju dunia nyata dari perkuliahan. Gerbang itu adalah "wisuda", ya, wisuda. Proses yang "sesederhana" memindahkan anting-anting di topi toga ini telah banyak membuat para fresh graduated terbuai, terlena dengan euforia kelulusan atau wisuda.
Proses Wisuda Penulis |
Lantas bagaimana dengan manajemen waktu?, manajemen waktu di sini adalah tentang bagaimana para fresh graduated sebisa mungkin mengatur waktunya, agar tepat setelah wisuda proses mencari kerja sudah dapat langsung dilakukan. Tapi ironisnya, kebanyakan dari kami lebih memilih untuk berdiam diri dulu, menikmati momentum, menikmati masa-masa bebas kuliah tanpa ada kegiatan. Padahal masa-masa itu bisa dimanfaatkan untuk melengkapi persyaratan melamar pekerjaan, seperti membuat surat lamaran, CV, legalisir ijazah, transkip nilai, SKCK, dan lain-lain. Fakta di lapangan mengatakan sebaliknya. Bisa jadi di dalam mindset seorang fresh graduated adalah tentang berleha-leha dulu, baru setelah itu berusaha. Itu pemikiran yang kurang tepat dan bijak. Lebih bijak jika, boleh saja kita menikmati masa-masa bebas berleha-leha beberapa waktu setelah wisuda, namun jangan terlalu lama. Segeralah bangkit dari tempat tidur, nyalakan laptop, internet, cari pekerjaan, datangi perusahaan-perusahaan, dan bertanya pada teman-teman yang belum bekerja ataupun sudah.
Perlu diketahui bahwa relasi internal kampus, dalam kata lain hubungan para mahasiswa satu jurusan di kampus berpengaruh besar dalam mendapatkan pekerjaan. Salah satu contoh nyata terjadi pada kakak laki-laki penulis yang dulunya berkuliah di POLBAN, D3 jurusan teknik refrigirasi dan tata udara. Cukup kurang akrab tentang jurusannya, namun itu dapat kita dikesampingkan juga. Pasalnya tak lama setelah dia mengikuti kerja praktek program perkuliahan kampus, dia langsung ditawari untuk menjadi pegawai tetap di perusahaan di tempat dia kerja praktek. Kesempatan itu juga tak lepas dari peran para senior di kampusnya yang setia mengabari para juniornya tentang lapangan pekerjaan. Dari situ penulis dapat menyimpulkan bahwa kesempatan mendapatkan pekerjaan antara D3 dan S1 adalah hal yang berbeda. Penulis berasumsi, keterikatan antara alumni D3 dan S1 cukup jauh berbeda. Sepengalaman penulis, urusan kabar-mengabari tentang pekerjaan lebih intens dan dekat di D3 daripada S1. Dekat di sini berarti para senior menawarkan pekerjaan yang memang sudah terbuka lebar peluangnya. Lain halnya dengan yang penulis alami, memang banyak yang menawarkan pekerjaan, tetapi sifatnya masih bersifat umum. Proses-proses penerimaan pekerjaan yang panjang tetap harus diikuti. Di balik relasi dan berbagai pernak-pernik di dalamnya, semua kembali lagi ke diri kita masing-masing. Apakah kita orang yang memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya, atau orang yang senang menunda-nunda, itu semua ada pada keputusan masing-masing individu.
Apalah artinya jika bekerja tidak sesuai dengan keahlian atau jurusan kita dulu saat kuliah. Apa gunanya kita lama-lama kuliah jika bekerja tidak sesuai jurusan. Fenomena bekerja tidak sesuai jurusan acap kali kita dengar. Semua terjadi mungkin karena jurusan yang kita ambil masih kurang akrab di telinga masyarakat atau bidang pekerjaannya yang belum ada. Sebagai contoh, penulis mengambil jurusan ilmu komunikasi dengan konsentrasi jurnalistik. Bayang-bayang dapat bekerja di stasiun televisi dan menjadi salah satu reporter atau news anchor jelas terlihat semasa berkuliah. Sayangnya, setelah lulus mendapatkan pekerjaan impian tidaklah seindah membayangkannya. Tingginya minat masyarakat pada media televisi dan media massa lainnya membuat profesi ini kebanjiran peminat. Terlebih pfofesi jurnalis, penyiar, atau profesi senada lainnya, rata-rata persyaratan lowongan ini adalah terbuka untuk semua jurusan. Itulah yang membuat kami jurusan jurnalistik cukup sulit mendapatkan pekerjaan yang jelas-jelas sesuai dengan jurusan kami. Penulis sering menjumpai para alumni yang bekerja di luar bidangnya. Kebanyakan dari mereka bekerja di berbagai bank, baik milik pemerintah ataupun swasta. Kenyataan yang cukup miris adalah sudah bersusah-susah belajar di perkuliahan, ujung-ujungnya mencari pekerjaan dengan kualifikasi semua jurusan.
Alternatif solusi untuk para fresh graduated dan penghilang gundah sesaat adalah job fair. Job fair sesungguhnya dalah pameran lapangan pekerjaan, bukan dalam arti penuh sebagai pembukaan lowongan kerja masal. Setelah mengetahui arti tersebut, barulah penulis menyadari bahwa tidak adanya hasil sama sekali dari sekian banyak job fair yang telah diikuti karena mungkin memang artinya pameran, bukan perekrutan. Tidak ada salahnya mencoba, tidak ada salahnya mengikuti setiap job fair yang ada. Tapi di sini kita harus berpikir jauh dan realistis. Untuk apa menghadiri job fair jika kita sendiri sudah ragu tidak akan mendapatkan pekerjaan. Dari sini yang harus dicermati adalah pihak mana yang mengadakan job fair, harga tiket masuk (gratis lebih baik), tempat job fair. Jika pihak promotor sudah dikenal, harga tiket masuk tidak terlalu mahal, dan diadakan di tempat yang besar, bolehlah kita datangi. Di dalam arena job fair harus dimaksimalkan dengan mengunjungi perusahaan yang sesuai jurusan kuliah, setelah itu carilah yang membuka lowongan untuk semua jurusan, jangan heran jika peminatnya membludak hingga antri sampai ke luar outlet perusahaan tersebut.
Problematika khas fresh graduated selanjutnya adalah tentang pengalaman kerja profesional. Pekerja yang berpengalaman pastilah lebih dilirik daripada seorang fresh graduated. Bisa digambarkan di sini bahwa kata-kata bijak "pengalaman adalah guru terbaik" memang benar adanya. Oleh pengalaman itulah para fresh graduated merasa didiskriminasi dan tersisihkan. Sebetulnya para fresh graduated tidak bisa dikategorikan benar-benar belum berpengalaman. Setidaknya fresh graduated juga merasakan pengalaman bekerja di bidangnya pada masa kerja praktek tuntuan perkuliahan. Namun tetap saja pekerja yang telah bekerja secara resmi di suatu perusahaan lebih diperhitungkan.
Esensi dari seorang fresh graduated adalah pada kata "fresh" yang berarti segar. Asumsi penulis kata segar tersebut mencakup segar ilmunya yang berarti ilmunya masih hangat atau masih mudah diingat. Segar semangatnya dalam mencari pekerjaan, segar dalam menatap masa depan, dan yang terpenting adalah segar mencari pengalaman kerja.
0 komentar:
Posting Komentar